Kamis, 30 Mei 2013
Biografi Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien (1848-1908) Perempuan Aceh Berhati
Baja
Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang
banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan
kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja
yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan
Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran
Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan
kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan
pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami
keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan
Nasional.
TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga
kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta
Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak
ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan
abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak
Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh,
sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama.
Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan
mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami
dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan
kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana
lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan
tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan
suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan
yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi
keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum
kafir.
Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya
pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang
Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal
Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan
perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang
mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985:
107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut
pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan
baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.
Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien
dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan
penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara
kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami
Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan
di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan
anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan,
bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati
kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang
buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan.
Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan
Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan
terhadap kaum kafir Belanda.
Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan
kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial
Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut
balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang
bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal
suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan
terhadap pasukan Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau
tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar,
kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia
membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku
Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan
kerugian bagi pihak Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa
wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet
Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah
mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh
terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat
juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan
kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal
sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah
berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata
dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku
Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh
pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun
Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa
kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan
untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun
tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus
melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang
pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan
walau dengan istilah berdamai sekalipun.
Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya
itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka
di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi
sekalipun tidak pernah berhasil.
Keterlibatan Tjoet Njak Dien dalam perang Aceh
nampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Mesjid Besar Aceh. Dengan
amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, “Hai sekalian mukmin yang bernama orang
Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya! Mereka
menentang Allah Subhanahuwataala, tempatmu beribadah dibinasakannya! Nama Allah
dicemarkannya! Camkanlah itu! Janganlah kita melupakan budi si kafir yang
serupa itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang
serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?” (Szekely
Lulofs, 1951:59).
Lama-lama pasukan Tjoet Njak Dien melemah.
Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan
dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun,
seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya
mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang.
Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi
yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi, ketika Pang Laot Ali, tangan kanan
sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari
kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Tjoet Njak Dien
menjadi sangat marah. Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan
pimpinannya. Akhirnya ia menghianatinya. Kepada Belanda ia melaporkan
persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan
kekerasan dan harus menghormatinya.
Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga
ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut
rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu
banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.
Ketika tertangkap wanita yang sudah tak berdaya
dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya dengan sikap menentang. Dari
mulutnya terucap kalimat, “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku? Di
dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”.
Tjoet Njak Dien marah luar biasa kepada Pang
Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan
itu sikap menentang mujahidah ini masih nampak dengan mencabut rencong hendak
menikamnya.
Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus
melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk.
Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya
dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. yang berati mengingkari salah satu butir
perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.
DI SUMEDANG tak banyak orang tahu perempuan ini.
Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat
di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi
dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan
politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangannya di Aceh
pada 11 Desember 1906.
Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati
Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat
perempuan yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara,
tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar
Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.
Di antara mereka yang datang banyak membawakan
makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang
besar, juga karena Ibu Perbu tak bersedia menerima apapun yang diberikan oleh
Belanda.
Keadaan ini terus berlangsung hingga 6 November
1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh,
sebuah komplek pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat
kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa
sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu,
bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.
Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan
melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an berdasarkan keterangan dari pemerintah
Belanda baru diketahui bahwa Tjoet Njak Dhien, seorang pahlawan wanita Aceh
yang terkenal telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan
itu berdasarkan Surat Keputusan No. 23 (Kolonial Verslag 1907:12). Akhirnya
dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Tjoet Njak Dhien
yang diasingkan Belanda bersama seorang panglima berusia 50 tahun dan seorang
kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.
Perjuangan Tjoet Njak Dien menimbulkan rasa
takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan
pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanita lah yang merupakan de leidster
van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu.
Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting
dalam berbagai sektor.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar