Kamis, 04 April 2013
SIMBOLISME BUDAYA JAWA
Hubungan manusia dengan kebudayaan sangat erat. Sehingga manusia disebut sebagai makhluk budaya. Kebudayaan sendiri terdiri atas gagasan, symbol-simbol, dan nilai-nilai yang merupakan hasil karya manusia. Manusia berpikir dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis yang merupakan ciri khas manusia sehingga ia berbeda dengan hewan.
Symbol adalah lambang suatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman subjek kepada obyek. Tanda selalu menunjuk kepada sesuatu yang riil (benda), kejadian atau tindakan.
Riwayat Hidup Suku Jawa
Secara geography, P. Jawa terletak pada 5° LU, 10° LS dan 105° – 115° BT. Secara antrolopogi budaya yang disebut suku Jawa adalah orang-orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialek dalam kehidupan sehari-hari, dan bertempat tinggal did aerah Jawa Tengah atau Jawa Timur serta berasal dari daerah tersebut.
Wilayah di sebelah barat S. Cilosari dan S. Citandui disebut daerah Jawa Barat atau Tanah Pasundan, dan didiami oleh suku Sunda[1]. Sedangkan di wilayah timur kedua sungai itu disebut Tanah Jawa, yaitu daerah yang didiami oleh suku Jawa. Daerah ini meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Suku Jawa asli atau pribumi, hidup di pedalaman, yaitu daerah-daerah yang biasanya disebut daerah Kejawen. Meliputi wilayah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Di luar itu disebut daerah pesisir dan ujung timur.
Yogyakarta dan Surakarta, dua daerah kerajaan Dinasti Mataram yang masih tetap berdiri merupakan pusat kebudayaan Jawa [2]
Masyarakat Jawa merupakan satu kesatuan yang lekat terikat satu sama lain oleh norma-norma kehidupan karena sejarah, tradisi dan agama. Unit terkecil adalah keluarga. Unit-unit itu hidup bersama dalam masyarakat desa. Ratusan desa secara geografis tergabung dalam suatu daerah seperti : Banyumas, Yogyakarta, dll. Masing-masing daerah memiliki norma, dialek, gaya bahasa, adat, dan nilai-nilai tersendiri
Masyarakat hidup bersama dengan menerapkan gotong royong, yang merupakan ciri khas kekeluargaan. Gaya hidup ini diwariskan generasi ke generasi.
Mereka juga merupakan masyarakat berketuhanan. Sejak jaman purba, suku Jawa telah mengenal kepercayaan animisme (percaya roh yang menguasai semua benda,manusia, hewan, tumbuhan). Kemudian datang pengaruh agama Hindu (percaya pada dewa-dewa), lalu Budha, Islam, Kristen, Katholik. Hal ini membeawa perkembangan bagi masyarakat Jawa dalam berkeyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa
ASAL USUL TANAH JAWA
Menurut Prof. Dr. RM. Ng. Poerbatjaraka, Kapustakaan Djawa,
Cerita asal-usul suku Jawa telah dibuat pada Jaman Puncak Kejayaan Majapahit, ± 1294-1478. yaitu dalam Kitab Tantu Pangelaran, dikisahkan
“Batara Guru menciptakan sejodoh amnusia di tanah Jawa. Kemudian berkembang biak. Tetapi masih telanjang, belum dapat bertutur dan belum pandai emmbuat rumah. Maka diperintahkan beberapa dewa utnuk turun ke tanah Jawa. Guna memberi pelajaran kepada manusia agar pandai bicara, berpakaian, membuat rumah, alat-alat, dan sebagainya. Batara Wisnu menjadi raja pertama di tanah Jawa yang bernama Sang Kandiawan. Kemudian berputra Sang Mangukuhan, Sang Sandanggarba, Sang Katung-malaras, Sang Karung Kala, Sang Wretikandayun.
Menurut dongeng tersebut, asal usul manusia Jawa adalah keturunan Dewa. Dongeng ini dikaitkan dengan cerita pewayangan, dimana putra Batara Guru secara gilir, turun dari kahyangan menjadi raja-raja di tanah Jawa.
Cerita ini dapat dilihat pula dalam kitab Pustaka Radja. Disebutkan bahwa setelah keturunan Aji Saka lenyap (punah) th 101 Caka karena wabah kematian, maka tanah Jawa diperintah keturunan Dewa. Sebelum kedatangan Aji Saka, Sang Hyang Syiwa telah datang ke P. Jawa. Ia melihat pulau panjang penuh dengan tanaman jawawut, maka pulau ini dinamakan Jawa.[3]
Kisah asal usul pulau Jawa juga tertulis dalam kitab Paramayoga karya R. Ng. Ranggawarsita, pujangga kenamaan Surakarta Hadiningrat.
“Hatta setelah sampai pada tahun Hindu dalam zaman Pancamakala, angka 768, tahun Adam angka 8154, tahun Surya, atau 5306 tahun bulan, maka Prabu Isaka Radja negeri Surati di Hindustan, yakni yang disebut oleh Aji Saka, negaranya diserang musuh. Sang Prabu itu disuruhnya bertapa di sebuah Pulau yang masih kosong, terletak di sebelah tenggara tanah Hindi. Sang prabu itu berangkatlah ke pulau kosong itu, yakni pulau Jawa. Setibanya di Pulau Jawa, sang prabu lalu bernama Empu Sangkala.[4]
Menurut tulisan C.C. Berg tersebut :
Dikisahkan bahwa Aji Saka adalah seorang pahlawan muda, datang dari negri asing (India) ke tanah Jawa. Ia mendapatkan negri ini dibawah perintah seorang raja pemakan daging manusia. Lalu Aji Saka menawarkan dirinya untuk dimakan raja, dengan syarat sebagai gantinya akan menerima sejengkal tanah seluas destarnya (kain untuk ikat kepala?).
Raja pemakan manusia itu menerima syarat Aji Saka dengan senang hati. Ia terkejut, bahwa makin lama destar Aji Saka makin lebar dan akhirnya menutup seluruh wilayah kerajaan. Si Raja menerima kekalahannya dan mengundurkan diri, serta menyerahkan kekuasan kepad Aji Saka.
hana caraka artinya: ada abdi-abdi yang setia
data sawala terlibat dalam perkelahian
padha jayanya mereka sama-sama kuat
maga bathanga dan telah menemui ajalnya
C.C. Berg menyamakan abjad Jawa dengan Latin, sbb:
h, n, c, r, k, d, t, s, w, l, p, dh, j, ny, m, g, b, th, ng
menurut analisa Berg:
cerita Aji Saka memberitahukan fakta masuknya Hindu di tanah Jawa. Saka adalah perubahan dalam bahasa Jawa dari kata Sansekerta syaka, yang di India artinya bangsa Scyth. Kemudian dalam bahasa Jawa dikenal sebagai syakakala, lalu menjadi sengkala, yang berarti tahun Saka atau ‘saat syaka’. Ada hubungannya dengan candrasengkala.
Aji Saka artinya ‘raja saka’, dipandang sebagai orang yang memperkenalkan tarikh Scyth di Jawa. Dengan kata lain yaitu orang yang hidup pada jaman permulaan peradaban dan mengakhiri zaman biadab.[5]
Tarikh Saka dimulai pada tahun 72 M. dan cerita Aji Saka ini hanya dongeng karya Ranggawarsita. Sebab nama Aji Saka tidak pernah ada dalam silsilah raja-raja Jawa[6]
Ketika jaman es belum mencair, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sumatera dan Jawa, masih dalam satu daratan dengan Benua Asia. Bukti-bukti arkeologis jaman prasejarah [7] menunjukkan bahwa suku-suku di daratan Sunda berhubungan erat dengan bangsa-bangsa di Indo Cina.
Kebudayan Kuno berlangsung ± 2500 SM. Kemudian muncul kebudayaan perunggu ± 1000 SM dengan ditemukannya benda-benda perunggu di papua, Sumatera, Nusatenggara, Bali, Sumbawa.
Zaman es berakhir.
Dunia mulai nampak bentuknya. Dataran berubah menjadi lautan dan selat. Muncul Pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan, Jawa, dataran sahul di tiimur menjadi Papua.
Berdasar temuan fosil di lembah Bengawan Solo yaitu Phythecanthropus Erectus manusia tertua yang pernah hidup di Pulau Jawa kira-kira satu juta tahun yang lalu.
Asal nama Pulau Jawa menurut pengembara Arab,Cina,India, Eropa :
Abad ke-2 M, Claudius Ptolemaeus, ahli ilmu bumi Yunani
Ia menulis cerita tentang P. Jawa yang disebut Jabadiu. Pulau ini subur dan banyak mengandung emas. Diujung barat Jabadiu terdapat kota besar bernama Argure (kota perak). Ptolemaeus menyebut Jabadiu dengan nama lain : Jawa Dwipa (yaitu Pulau Jawa). Ia menulis, saat itu orang-orang Hindu sudah menguasai sebagian Jawa dan Sumatera dan memerintah sebagian penduduknya serta mengadakan asimilasi dengan penduduk asli.
Th 414 M, Fa Hien pengembara Cina.
Ia meninggalkan Cina th 399 M untuk mengunjungi 30 kota di India. Dalam perjalanan ke Ceylon-Cina th 414 M, kapalnya diserang badai hingga kehilangan arah. Tiga bulan berlayar, ia terdampar di pulau yang menurutnya bernama Je-pho-thie. Ia berdiam di daerah itu sebelum kembali ke tanah airnya. Menurutnya, telah banyak brahmana namun rakyat setempat belum banyak mengenal agama Budha. Menurut perkiraan,Je-pho-thie adalah dialek Cina untuk Jawa Dwipa
Ilmuan Arab bernama Arjabhata (lahir 476 M) menyusun buku Ilmu Perbintangan
Ia menyebut Jawa Koti, yaitu daerah di Jawa. Dalam bukunya ia menulis bahwa cerita-cerita perjalanan th 237 H (± th 815 M) telah dibukukan. Di dalamnya disebut tentang adanya kerajaan Hindu di pulau Zabedj. Menurut lidah orang Arab, nama ini untuk menyebut Jawa
Pada abad ke-12 orang-orang Hindu dari India menyebutkan Jawa Dwipa. Ketika itu, India bernama Jambu Dwipa. Pulau-pulau lain diberi nama sesuai dengan tanaman yang banyak tumbuh di tempat itu. saat itu, di Jawa banyak tumbuh jenis padi-padian yang dikenal dengan nama Jawawut, makanan rakyat penduduk setempat. Sehingga pulau ini dinamakan Jawa dari kata “Jawawut”
Akhir abad –13, Marco Polo, pedagang dari Venesia.
Ia mengunjungi kepulauan India dan menyebut nama Giava untuk Pulau Jawa. Menurut dia Pulau Jawa terbagi menjadi Jawa kecil dan Besar. Jawa Besar adalah pulau Jawa dan Jawa Kecil adalah
Sumatera
1343, Ibn Batutah, pengembara Arab
Ia melakukan perjalanan ke pulau India dan menyebutkan nama Djawah untuk pulau Sumatera. Untuk membedakan dengan pulau Jawa, ia menyebutnya Moel atau Moela Djawah, yang diperkirakan sama dengan Jawa
Tindakan Simbolis orang Jawa
Dalam Tingkat Norma :
Sungkem, tanda menghaturkan sembah
Tepa Selira , saling menghormati, menghargai
Masyarakat Jawa secara terang-terangan tidak mengenal kasta. Namun tetap saja terdapat Pemilahan struktur sosial tersebut meski tidak tertulis. Hal itu dilakukan mereka sendiri secara diam-diam, sehingga muncul hubungan sosial yang sedikit “kaku”. Karena harus memperhatikan norma-norma tertentu yang kita kenal sebagai “Budi Pekerti Jawa”.
Struktur sosial dalam masyarakat Jawa ini muncul karena pada awalnya, Jawa adalah sebuah kerajaan. Hierarki tertinggi ada pada raja, kemudian keluarganya, dan para pejabatnya[8].
Di kenal beberapa stratifikasi :
Priyayi dan Wong Lumrah
Priyayi adalah kelompok masyarakat ningrat, yang memiliki hubungan darah atau trah tertentu, yang ditandai dengan gelar kebangsawanan. Pada perkembangannya, golongan priyayi bukan dari trah bangsawan saja, terdapat pejabat/pegawai pemerintah yang mempunyai pekerjaan halus dan bagus
Sedangkan wong lumrah adalah mereka yang tidak punya kedudukan penting, atau mereka yang mengabdi kepada priyayi. Mereka mendapat penghidupan dari priyyai. Oleh sebab itu ada jarak antara priyayi dan wong lumrah yang didasari pada system hormat. System inilah yang membungkus budi pekerti Jawa yang amat kompleks
Wong gedhe merupakan sebutan untuk orang-orang yang dipandang memiliki kelebihan, dapat berupa jabatan, kekayaan, dan keahlian khusus yang tidak dimiliki wong cilik. Hingga seakan-akan ada hubungan yang mempertimbangkan system hormat antara keduanya. Wong gedhe sebagai pihak terhormat, dan wong cilik harus menghormat
Pinisepuh adalah orang-orang Jawa yang dianggap tua (dituakan) dimasyarakat. Mereka dihormati dan duduk dalam posisi tertentu dan tinggi. Sedang kawula muda, selalu duduk di bagian bawah. Posisi duduk semacam ini telah dimengerti dan diterima masyarakat tanpa protes. Karena masing-masing pihak menggunakan rasa Jawa sehingga saling ambil posisi.
Santri adalah orang Jawa yang tekun menjalankan ibadah agamanya. Sedangkan abangan adalah kebalikan santri. Hubungan kedua golongan ini sebenarnya baik-baik saja, namun ada jarak tertentu, dan nampak bahwa posisi santri di atas abangan
Sedulur adalah komunitas yang masih ada hubungan kekerabatan
Dalam masyarakat Jawa, ‘budi pekerti’ terkait erat dengan tata krama. “budi pekerti” merupakan ‘roh’ tata krama pergaulan, dapat dikatakan bahwa tata krama adalah tulang penggerak budi pekerti. Tata krama dan sopan santun adalah kebiasaan yang disepakati dalam lingkungan pergaulan. Kebiasaan ini telah berlangsung berulang-ulang, dan akhirnya melembaga menjadi suatu etika pergaulan.
Beberapa teladan dari Karya Sastra Jawa Kuna :
BHAGAWAD GITA : WATAK Kebijaksanaan Hidup
kitab ini mengajarkan ajaran kebijaksanaan Tuhan yang disampaikan melalui kidungan. Kitab ini merupakan bagian keenam dari Kitab Mahabarata (terdiri dari 18 hal). Di dalamnya melukiskan watak dan sikap tokoh Arjuna yang ragu-ragu untuk menghadapi Karna dalam perang Baratayuda. Arjuna bimbang, karena yang dihadapi adalah Saudara seibu.
Saat kebimbangannya itu, Kresna memberi nasehat penting. Yang terangkum dalam lirik Bhagawad Gita , sbb :
“ He Arjuna kepriye paran darunane dene Si adhi teka tidha-tidha sawise ngadhepi mungsuhmu? Yen ngono, ngono kuwi ateges ilang kabeh watak anoragamu lan nistha banget, merga ora tok tuduhake kanthi trep, tuduhna yen si adhi kuwi lelananging jagad. Tumuli majua, penthangen gandhewamu, maju perang kanthi gagah prakosa”.
Bahwa Arjuna dianggep nistha (tidak berharga) jika sampe takut berhadapan musuh, yaitu saudaranya sendiri. Dalam perang , prinsip utamanya adalah membasmi watak angkara murka. Tidak ada saudara, yang ada musuh !
Saat Arjuna ragu-ragu dan takut, berarti tidak mau membasmi angkara murka dan kejahatan di muka bumi. Hal ini bertentangan dengan sifat ksatria sejati yang bertugas menyelamatkan Negara
Di sisi lain, Karna bukan dipandang orang hina. Ia adalah karakter prajurit sejati. Meski yang diabdinya adalah raja Duryudana, raja angkara murka. Bagi Karna, ia telah menunjukkan sifat seorang pahlawan berbudi luhur. Ia gembira mendapat perintah raja dalam tugas sebagai adpitai perang untuk membela negaranya. Bagi Karna, raja ini telah memberinya pangkat dan mengentaskannya dari lubang kemiskinan.[9]
Dalam kitab Tripama karya KGPAA Mangkunegara IV, sifat Karna ini sebagai symbol tokoh berbudi, berani berperang tidak sekedar membela negara, namun juga berjuang menghilangkan sifat angkara Prabu Duryudana
BARATAYUDA : WATAK Angkara Murka
Kerajaan Astina mempunyai du putra : Destarastra (laki-laki buta) dan Pandudewanata (laki-laki gagah). Ketika menginjak remaja, Pandu mengikuti sayembara yang diadakan Prabu Kutiboja, raja Mandura untuk memperebutkan putrinya, Dewi Kunti.
Namun ia terlambat karena sayembara telah dimenangkan R. Narasoma. Tapi, Prabu Kotiboja tidak suka pada Narasoma. Lalu diputuskan digelar ulang sayembara itu, dan pertaruhan ditambah dengan Dewi Madrim (adik Narasoma).
Pada sayembara ini, Pandu menjadi pemenangnya. Ia bersuka cita, lalu pulang ke Astina. Di perjalanan, ia dihadang Sengkuni dan adiknya, Dewi Gendari. Sengkuni iri dan sangat menginginkan kedua putrid bakal istri Pandu itu. Terjadi pernag hebat, Sengkuni kalah.
Pandu kembali meneruskan perjalanan ke Astina. Selain membawa dua putrid bakal istri, ia juga mendapatkan seorang putrid lagi, yaitu Dewi Gendari. Tiba di istana, Pandu tak tega melihat kakak semata wayangnya yang buta. Sementara ia menikmati segalanya, termasuk 3 putri calon istrinya. Maka untuk menyenangkan Destarastra, Pandu mengijinkan kakaknya untuk memilih satu diantara 3 putri itu menjadi istrinya. Karena buta, Destarastra tidak bisa memutuskan langsung. Ia meminta 3 putri itu untuk diraba mukanya. Pilihan jatuh pada Dewi Gendari.
Dewi Gendari sangat murka, merasa terhina dengan keadaan dirinya yang terpilih oleh Destarastra, pangeran buta yang jauh sekali ketampanannya dari Pandu. Ia bersumpah dalam hati untuk selalu memusuhi keturunan Pandu
Dan selanjutnya takdir memang berjalan seperti itu. pernikahanan. dewi Gendari dengan Destarastra melahirkan seratus anak (Korawa). Peristiwa ini bermula dari saat Dewi Gendari melahirkan anak, ternyata hanya berujud daging kecil-kecil. Ia sangat marah, jengkel, sehingga daging itu diinjak-injaknya. Suratan dewa belum mengijinkaqn kematian, maka daing itu setiap diinjak bertambah banyak. Oleh Abiyasa, daging-daging itu dikumpulkan, dimasukkan ke belanga, kemudian ditutup daun lumbu. Mukjizat dewa, daging itu menjadi bayi : 100 bayi Kurawa, yang kelak akan selalu bermusuhan dengan anak-anak Pandu (Pandawa)
Pandudewanata hidup berbahagia dengan 2 istrinya, Dewi Kunti dan Madrim. Namun sayang, sebuah peristiwa telah menyeretnya menuju takdir kematiannya. Hal itu terjadi ketika Pandu berburu di hutan. Ia memanah rusa yang sedang make love . Ternyata kijang itu jelmaan Resi Kindhana. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Sang Resi mengutuk Pandu bahwa ia akan menemui ajal saat “melakukan hubungan suami istri”.
Ia menceritakan kutukan itu pada istrinya. Dewi Kunti, yang pernah berguru dan bertapa, mengantisipasi kutukan untuk Pandu dengan menggunakan aji “ Adityaherdaya” ketika mereka melakukan hubungan suami istri. Dengan aji itu, maka Pandu selalu selamat dari kematiannya, hingga lahirlah 3 putra dari rahim Dewi Kunti (Yudhistria, Bima, Arjuna). Namun ketelodoran tak luput darinya. Ketika melakukan hubungan suami istri dengan Dewi Madrim, Pandu lupa pada ajian penangkal kutukan yang telah melindunginya. Itulah takdir kematiannya.
Ketika Pandu meninggal dunia, anak-anaknya masih balita. Oleh karena itu, tahta Astina untuk sementara dipegang sang kakak, sang buta Destarastra yang telah dikarunia 100 anak dan selalu didampingi istri dan adik iparnya, Gendari dan Sengkuni.
Ketika 5 anak Pandu menginjak remaja, mereka menanyakan tahta ayahnya. Namun selalu diakali oleh Sengkuni. Hingga kemudian kelima bocah itu terusir dari istana Astina dan membawa puncaknya kepada perang Barata (Baratayuda : perang nya darah Barata)
Pada awal perang Barata, Destarastra mati kena robohan beteng istana. Pada akhirnya perang ini dimenangkan 5 anak Pandu. Tahta Astina dipegang oleh cucu Arjuna, Parikesit. Ia seorang muda yang bijaksana, cerdik, berhati mulia, suka berderma dan mendirikan tempat ibadah.
Namun seperti kakek buyutnya, Pandu Dewanata, ia tergelincir dan khilaf hingga dikutuk putra resi bahwa kematiannya akan menjemput dia melalui gigitan Naga.
Kutukan ini terjadi ketika ia berburu rusa, rusa itu masuk ke pertapaan Resi Samiti. Ketika ia menanyakan perihal buruannya, sang resi tidak menjawab karena sedang bertapa. Parikesit tidak tahu, disangkanya sang resi menghina dia karena tidak menjawabnya. Parikesit jengkel, lalu mengalungkan bangkai ular hitam yang ada dekat si Resi.
Tindakan Parikesit ini menimbulkan amarah Kala Srenggi, anak Resi Samiti. Ia bersumpah bahwa nantinya Parikesit akan mati digigit Naga Taksaka. Kala Srenggi adalah seorang brahmana sakti. Setelah Resi Samiti selesai pertapaannya, betapa terkejutnya mendengar kutukan sang putra pada Parikesit. Ia menasehati putranya untuk mengekang nafsu amarah. Karena Parikesit adalah orang yang baik. Ia hanya bergurau dengan tindakannya mengalungkan bangkai ular kepadanya
Untuk menangkal kutukan itu, Resi Samiti mengutus abdinya menyampaikan berita agar Parikesit datang ke pertapaannya. Parikesit menolak, mengatakan ia akan menjaga diri baik-baik agar terhindar dari kutukan itu.
Ia membangun rumah panggung untuk tempat tinggalnya. Dijaga ketat dengan mantra dan brahmana. Namun, bagaimanapun ketatnya penjagaan, ada saja ketelodoran. Seorang brahmana bernama Ksyapa memanfaatkan diri guna mencari kekayaan harta raja. Sisi ini yang kemudian membuka Naga Taksaka mengubah dirinya menjadi brahmana. Ia mendekati panggung Parikesit serta mengetahui perbuatan Ksyapa lalu mendekatinya. Ia memberi sejumlah uang agar Ksyapa meninggalkan tugasnya jika tidak akan dilaporkan pada Parikesit.
Setelah berhasil menjadi penjaga rumah panggung Parikesit, Naga Taksaka bersama teman-temannya memberi hadiah buah jambu untuk Parikesit. Jambu itu telah dimasuki Naga Taksaka. Dan ketika makan jambu itu, Taksaka segera menggigit Parikesit. Itulah takdir kematiannya
RAMAYANA : Kesetiaan Luar Biasa
Dewi Sinta adalah putri Prabu Janaka dari kerajaan Mantili. Sinta dipercaya sebagai titisan Dewi Sri, istri Dewa Wisnu. Setelah dewasa, banyak jejaka ingin melamarnya. Kemudian Prabu Janaka mengadakan sayembara “ Siapa yang dapat menarik busur Negara Mantili, yang akan menjadi jodohnya”. Pemenangnya adalah Rama dari Negara Ayodya.
Prabu Dasamuka, raja Alengka sangat iri pada Rama. Ketika Rama-Lasmana-Sinta sedang dalam perjalanan ke hutan, Dasamuka menyamar menjadi kakek tua dan berhasil menculik Sinta ke Alengka. Saat terbang itu, Dasamuka dihadang Jatayu. Terjadi perang hebat, sayang Jatayu mati.
Dasamuka leluasa membawa Sinta ke keputren Alengka, namun Sinta tidak pernah mau disentuhnya
Mengetahui peristiwa penculikan Sinta, Rama sangat sedih. Untunglah Anoman kera putih sakti bersedia mencari jejak keberadaan Sinta.
Anoman adalah putra Dewi Anjani. Ibunya saat itu sedang bertapa di danau Mandira, karena hebatnya, turun para dewa, termasuk Batara Guru untuk mengabulkan permintaannya. Melihat kecantikan Anjani, hasrat Batara Guru memuncak, hingga keluar air maninya jatuh diatas daun kamal (sinom, daun muda). Setelah kepergian para dewa, Dewi Anjani tak sengaja makan daun kamal itu. hingga dirinya hamil dan melahirkan seekor kera putih.
Anoman adalah tipologi ksatria dan seorang resi yang sakti. Ia sangat mementingkan tugas negara, terbukti ketika Rama mengutus mencari jejak Sinta, ia pantang menyerah. Ketika dalam perjalanan ke Alengka, Anoman makan daun sambilata di hutan. Tiba-tiba ia menjadi buta juga para pengikutnya. Namun, penyakit itu dapat diobati. Kecelakaan ini menjadi cerminan, bahwa dalam perjalanan hidup, hendaknya tidak boleh makan sesuatu yang bukan haknya (barang haram). Tentu akan menyebabkan kecelakaan.
Mendekati istana Alengka, Anoman ketahuan prajurit Dasamuka. Ia dibakar. Namun keajaiban terjadi, tubuhnya tidak hangus, hanya ekornya memercikkan api. Setiap melewati rumah penduduk, api dari ekor Anoman membuat kebakaran rumah-rumah yang dilewatinya.
Dengan kecerdikannya, Anoman dapat masuk Keputren dan bertemu Sinta. Ia dalam kondisi memprihatinkan, badannya kurus, rambut tidak tertata, bahkan dibiarkan rontok di tanah.
Sinta memberi cincinnya untuk diserahkan kepada Rama. Jika cincin itu longgar berarti dirinya tidak suci lagi. Namun jika cincin itu tidak berubah, dirinya tetap suci.
Mengetahui Anoman berhasil ketemu Sinta, Dasamuka sangat marah. Lalu mengejeknya, menantang perang. Inilah kelemahan Dasamuka.
Dulu ketika lahir wajahnya sepuluh. Oleh Dewa ia disuruh bertapa 50 tahun. Setiap 5 tahun, kepalanya dipenggal satu dan dimasukkan ke dalam api suci. Dewa-dewa memberi dia umur panjang dan kesaktian. Namun ia tidak boleh mengejek kera putih, karena semua keistimewaannya akan lenyap. Apa hendak dikata, saat di keputren Alengka itulah, Dasamuka menemui takdirnya. Ia telah melanggar janji dewa dengan mengejek Anoman si kera putih sakti. Saat perang Alengka - Pancawati, Dasamuka mengajukan saudaranya : Kumbakarna.
Ia adalah seorang ksatria dengan menunjukkan bakti pada negaranya[10]. Meski ia tahu, perang itu dilakukannya bukan untuk membela kakaknya. Ia sudah mengingatkan untuk mengembalikan Sinta kepada Rama. Dan Kumbakarna mati dalam perang itu semata-mata untuk berbakti pada negaranya
Dan dalam perang itu, Dasamuka mati oleh aji Mangundriya Anoman. Sinta diboyong ke Pancawati.
Untuk membuktikan kesuciannya, ia melakukan upacara bakar diri. Api menjilat tubuhnya, namun ia tetap utuh, tidak hangus sedikitpun
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar