Muhammad Bakir atau I Mallambosi Daeng Karaeng Bonto Mangape yang lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin lahir di Ujungpandang tahun 1631. Ia merupakan putera kedua Sultan Malikussaid, Sultan Gowa ke-15 yang dinobatkan menjadi raja Gowa ke-16 pada tahun 1653.
Sebenarnya sebagai putera kedua, Hasanuddin tidak berhak atas tahta kerajaan Gowa. Akan tetapi, saat sang ayah mangkat pada tahun 1665, para pembesar kerajaan sepakat untuk menobatkannya sebagai Raja Gowa. Pilihan itu didasarkan atas prestasi yang dicapainya sewaktu ayahnya masih memerintah.
Sejak awal, Hasanudin memang sudah dipersiapkan untuk menjadi raja, sehingga keahlian yang berkaitan dengan pemerintahan diajarkan kepadanya. Ia sudah sering diutus oleh ayahnya ke beberapa kerajaan lain di Indonesia, seperti Banten dan
Mataram untuk mengadakan perjanjian kerja sama perdagangan dan pertahanan. Saat itu, kesultanan Gowa menguasai lalu lintas perdagangan wilayah timur Nusantara.
Pada masa pemerintahan ayahnya, Belanda sudah mendirikan beberapa kantor dagang di Kepulauan
Maluku dan berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah di daerah tersebut. Hal itu merupakan ancaman bagi kerajaan Gowa. Setelah Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan beberapa kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk bersama-sama menghadapi Belanda.
Ketegangan dengan kongsi dagang Belanda memuncak ketika Hasanuddin naik tahta memerintah Gowa. Kehendak Belanda untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah menyebabkan benturan dengan kerajaan ini. Kebijakan monopoli itu sangat menyinggung kedaulatan Kerajaan Gowa dan dapat mengancam kehidupan ekonomi Kerajaan Gowa yang sebagai kerajaan maritim sangat tergantung pada usaha perdagangan.
Sementara itu, beberapa kerajaan kecil bersiap-siap untuk melepaskan diri dari kekuasaan Gowa. Arung Palakka dari Kerajaan Bone dengan dibantu Raja Soppeng mengadakan pemberontakan. Tetapi pemberontakan itu dapat dikalahkan Hasanuddin.
Sekadar catatan, ada satu hal yang patut diperhatikan dalam perjuangan Hasanudin, yaitu masalah dengan Raja Bone, Arung Palakka. Gowa dan Bone sebenarnya sama-sama bersikap anti Belanda. Namun perlakuan pasukan Gowa yang pernah melakukan pembunuhan terhadap keluarga Raja Bone, menjadikan dendam pribadi terhadap Kerajaan Gowa, meskipun kejadian itu terjadi sebelum Hasanuddin naik tahta sebagai raja. Di pihak lain, Arung Palakka mau membantu Belanda dengan satu syarat bahwa Belanda tidak mengganggu kedaulatan Kerajaan Bone. Dengan strategi seperti itu, Bone memang berhasil mempertahankan kemerdekaannya sampai beberapa generasi. Kepandaian Belanda dalam berdiplomasi menyebabkan Bone dan kerajaan taklukan lainnya selalu dapat dimanipulasi untuk melawan kerajaan-kerajaan yang anti-Belanda.
Pada tahun 1660, meletus perang antara Gowa dan Belanda. Perang itu diakhiri dengan perdamaian. Tetapi, perdamaian itu terlalu banyak merugikan Gowa.
Pada tahun 1662 timbul insiden dengan VOC. Kapal De Walvisch yang memasuki perairan Makassar tanpa izin karena dikejar oleh pasukan Gowa, kandas di pantai. Sebanyak 16 pucuk meriam disita oleh Gowa. Dua tahun kemudian kapal VOC De Leeuwin juga tenggelam di Pulau Dayang-dayang. Seratus anak buah kapal mati tenggelam dan sisanya sebanyak 162 orang ditawan di Gowa.
Untuk menyelidiki kapal tenggelam tersebut, VOC mengirim 14 orang pegawainya ke tempat kandasnya kapal tanpa memberitahu kepada sultan. Kehormatan Hasanuddin merasa dilanggar dengan tindakan tersebut sehingga para pegawai VOC itu pun ditawan lalu dibunuh.
Pada tahun 1665 Gubernur Jenderal Joan Mattsuijker mengutus Joan van Wesenhagen ke Gowa untuk berdamai dengan Hasanuddin, tetapi perundingan damai itu ditolak. Alasannya, syarat-syarat yang ditentukan VOC merugikan kerajaan Gowa. Menghadapi perlawanan itu, pada bulan November 1666 armada VOC di bawah pimpinan Cornelis Speelman berangkat dari Batavia menuju Gowa. Armada itu berkekuatan 21 kapal perang dengan membawa 1.000 orang tentara, 600 di antaranya adalah serdadu Belanda.
Dengan kekuatan sebesar itu pada tanggal 21 Desember 1666, Hasanuddin kembali memaklumkan perang kepada Belanda. Dalam perang ini Belanda dibantu oleh beberapa kerajaan yang dapat mereka pengaruhi. Beberapa buah benteng pertahanan Gowa yaitu Samba Opu, Panakupang, dan
Ujung Pandang dihujam meriam. Serangan itu mendapat balasan dari kerajaan Gowa.
Speelman menyadari bahwa pertahanan Gowa tidak mungkin ditembus sehingga ia mengubah taktik serangan. Ia menggerakkan armadanya ke Buton, tetapi di daerah pedalaman mereka mendapat perlawanan dari penduduk. Pasukan Belanda terpaksa kembali ke kapalnya dan berlayar menuju Bantaeng. Di tempat itu mereka mendapat perlawanan sengit dari pasukan Gowa. Setelah membakar persediaan padi, pasukan Belanda kembali ke Buton.
Perlawanan Raja Gowa itu sepenuhnya didukung oleh kelompok bangsawan di Istana raja, ditambah dengan militansi tentara kerajaan menambah kekuatan pasukan. Tidak mengherankan bila orang Belanda menjuluki Sultan Hasanudin sebagai Haanstjes van Het Oosten atau "Ayam Jantan (jago) dari Timur". Julukan ini berdasarkan kenyataan bahwa semenjak pecah perang, armada dagang Belanda di kawasan Laut Sulawesi, Laut
Maluku (Ternate), bahkan di Kawasan Kalimantan tidak pernah aman dari gangguan armada Raja Gowa itu.
Di perairan Buton, berkobar pertempuran, Belanda dibantu Arung Palakka. Akibatnya Gowa kewalahan. Pimpinan Gowa Karaeng Bontomaranu, Datu Luwu, dan Sultan Bima ditawan Belanda.
Pertempuran berkobar kembali. Karena kekuatan tidak seimbang, Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari Banteng menuju Gowa. Karena pertempuran yang terus berkobar mendatangkan kerugian banyak di pihak Gowa, Sultan Hasanuddin bersedia membuat perjanjian dengan VOC. Perjanjian yang mengakhiri perang itu disebut Perjanjian Bongaya yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667.
Perjanjian itu sangat merugikan Gowa. Oleh karena itu, Hasanuddin yang merasa dirinya terlalu tertekan oleh isi perjanjian itu kembali menyusun kekuatan dan pada bulan April 1668 kembali melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Belanda. Pertempuran sengit terjadi di beberapa tempat. Hasanuddin memberikan perlawanan yang gigih. Tetapi, akhirnya ia terpaksa mengakui keunggulan lawannya. Tanggal 24 Juni 1668, pertahanan terkuat dan terakhir kerajaan Gowa, yakni benteng Sombaopu jatuh ke tangan Belanda. Sebanyak 272 buah meriam disita Belanda termasuk meriam pusaka "Anak Makassar". Dengan jatuhnya benteng tersebut, kekuatan Sultan Hasanuddin semakin lemah. Lima hari kemudian ia mengundurkan diri dari takhta kerajaan. Pemerintahan Kerajaan Gowa pun kemudian diserahkan kepada puteranya Sultan
Amir Hamzah. Namun, Hasanuddin tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda hingga meninggal dunia tanggal 12 Juni 1670.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Sultan Hasanuddin
pahlawan Nasional dianugerahi gelar
pahlawan Nasional berdasarkan SK
Presiden RI No. 087/TK/Tahun 1973, 6 Nov 1973
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/295-pahlawan/925-ayam-jantan-dari-timur
Copyright © tokohindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Salam Sukses