Jumat, 31 Juli 2015

Kekuatan Cinta

Cerita tentang sya Saya masih mengurusi luka yang tergores beberapa tahun yang lalu. Luka yang saya obati sendiri, dengan jemari saya sendiri, dengan perjuangan sendiri. Di hidup ini, harus ada yang datang dan pergi, agar saya paham arti singgah dan menetap. Di hidup ini, harus ada yang tinggal dan menghilang, agar saya tahu yang terbaik pastilah yang tetap tinggal dan tidak akan menghilang; kecuali jika Tuhan mengizinkan "kehilangan".
Saya tak tahu bahwa kebodohan saya bisa begitu berlipat ganda. Saya tak yakin jika ini semua saya lakukan karena saya mencintai dia. Rasanya sangat sulit melupakan sosok yang saya harapkan tetap tinggal tapi ternyata dia pergi. Sungguh sangat berat menghilangkan seseorang yang saya kira akan menetap tapi pada akhirnya dia pergi. Saya, sebagai manusia biasa, hanya bisa berharap pada setiap pertemuan, dan berdoa agar perpisahan tak cepat-cepat merenggut dia dari genggaman saya. Sebagai manusia yang serba terbatas, saya hanya mampu menjaga, saya tak tahu kapan ia akan pergi, kapan dia akan meninggalkan saya.
Perkenalan yang saya pikir akan berujung bahagia ternyata berakhir dengan siksa. Sekarang, saya tak lagi menangisi kehilangan, saya hanya bingung mengapa pertemuan yang begitu singkat bisa memunculkan kesan yang mendalam. Kadang, saya tak sadar, bahwa ketika bibir seseorang mengucap "Hai" sebenarnya saat itu juga saya harus siap pada banyak risiko; risiko kehilangan. Dunia ini penuh teka-teki, sebagai manusia yang mencoba menjawab dengan perasaan dan otak yang terbatas, kadang saya hanya bisa menangkap isyarat-isyarat kecil saja.
Dengan membawa sisa hati yang remuk, saya disadarkan oleh kicauan Sudjiwo Tedjo, salah satu sosok yang saya kagumi. Jemarinya yang ajaib menulis "Cinta tak perlu pengorbanan. Saat kamu mulai berasa berkorban, saat itu juga cintamu mulai pudar." Ah, betapa kalimat ini begitu menyentak saya. Memang, seringkali ketika berbuat untuk seseorang, manusia menyebut hal itu adalah pengorbanan. Begitu juga ketika saya mencintai dia. Saya tak tahu pasti apakah saya memang berkorban untuk dia atau sakit hati saya terlalu besar, hingga pada akhirnya, setelah saya dan dia tak lagi bersama, saya menyatakan diri bahwa saya telah berkorban banyak untuknya. Apakah cinta saya pudar? Oh, betapa manusia berbeda dengan Tuhan, yang tak pernah ungkit-ungkit pengorbananNya di kayu salib, yang tak pernah bilang betapa sakitnya lambung yang ditusuk dengan tombak, dan betapa perihnya mahkota duri yang tersemat di kepala.
Saya sedang merapikan hati saya yang patah. Mencoba menyambungkan mozaik-mozaik yang terlepas karena kebodohan saya sendiri. Lalu, saya berpikir sekali lagi, apakah benar cinta saya padanya telah pudar? Iya, sekarang sudah pudar, karena pada akhirnya saya merasa berkorban untuknya. Pada akhirnya, saya, yang sedang berusaha menghilangkan cinta, mengingat banyak perbuatan, yang (tiba-tiba) saya sebut pengorbanan. Apakah cinta saya tak tulus?
Pengorbanan biasanya dilakukan meskipun kamu kesakitan. Tapi, ketika jatuh cinta; ketika kaumasih terbangun tengah malam hanya untuk mendengar suaranya, saat kaumenunggunya menyelesaikan tugas, manakala pesan singkatnya kaunanti— kautak pernah merasa disakiti. Semua dilakukan atas dasar cinta, kaumencintainya maka kaubersedia menunggunya. Kaumencintainya, maka kauizinkan dirimu terus menanti, meskipun pada akhirnya dia tak menjadikanmu tujuan. Bukankah air matamu untuknya tetap kaupandang sebagai keindahan, kaumenangis karena mencintainya, bukan karena kaumerasa berkorban.
Lucu, ya, betapa kata pengorbanan yang sering kita anggap sepele ternyata bisa begitu magis ketika digali. Saya sudah sering disakiti begini. Sudah tahu rasanya dicintai, namun pada akhirnya dia memilih pergi bersama teman saya sendiri. Sudah tahu rasanya diterbangkan tinggi, namun tiba-tiba dihempaskan begitu saja. Lantas, walaupun kita seringkali merasa disakiti, mengapa rasa sakit itu tak pernah membuat kita kapok untuk jatuh cinta lagi?
Betapa kekuatan cinta bisa membebaskan kita